Keutamaan “Bersedekah” Kepada Istri di Hari Jum’at
Yang saya maksud “bersedekah” di sini adalah hubungan intim suami istri. Lihat tulisan sebelumnya “Hubungan Seks Suami Istri Adalah Sedekah”.
Ada temen FB yang agak “nakal”. Setiap jelang hari jumat ia selalu
menulis status FB seperti ini ” Malam Jumat Wooiiiiiiiiii……….” Mungkin
artikel ini ada kaitannya.
Jima’ atau hubungan seks dalam pandangan Islam bukanlah hal aib dan
hina yang harus dijauhi oleh seorang muslim yang ingin menjadi hamba
yang mulia di sisi Allah. Hal ini berbeda dengan pandangan agama lain
yang menilai persetubuhan sebagai sesuatu yang hina. Bahkan, sebagian
ajaran agama tertentu mewajibkan untuk menjauhi pernikahan dan hubungan
seks guna mencapai derajat tinggi dalam beragama.
Diriwayatkan dalam shahihain, dari Anas bin Malik pernah menceritakan, ada tiga orang yang datang ke rumah istri-istri Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam untuk menanyakan tentang ibadah beliau. Ketika diberitahukan, seolah-olah mereka saling bertukar pikiran dan saling bercakap bahwa mereka tidak bisa menyamai Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam karena dosa beliau yang lalu dan akan datang sudah diampuni. Lalu salah seorang mereka bertekad akan terus-menerus shalat malam tanpa tidur, yang satunya bertekad akan terus berpuasa setahun penuh tanpa bolong, dan satunya lagi bertekad akan menjauhi wanita dengan tidak akan menikah untuk selama-lamanya. Kabar inipun sampai ke telinga baginda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, lantas beliu bersabda kepada mereka, “Apakah kalian yang mengatakan begini dan begitu? Adapun saya, Demi Allah, adalah orang yang paling takut dan paling takwa kepada Allah di bandingkan kalian, tapi saya berpuasa dan juga berbuka, saya shalat (malam) dan juga tidur, serta menikahi beberapa wanita. Siapa yang membenci sunnahku bukan bagian dari umatku.” (Muttafaq ‘alaih)
Diriwayatkan dalam shahihain, dari Anas bin Malik pernah menceritakan, ada tiga orang yang datang ke rumah istri-istri Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam untuk menanyakan tentang ibadah beliau. Ketika diberitahukan, seolah-olah mereka saling bertukar pikiran dan saling bercakap bahwa mereka tidak bisa menyamai Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam karena dosa beliau yang lalu dan akan datang sudah diampuni. Lalu salah seorang mereka bertekad akan terus-menerus shalat malam tanpa tidur, yang satunya bertekad akan terus berpuasa setahun penuh tanpa bolong, dan satunya lagi bertekad akan menjauhi wanita dengan tidak akan menikah untuk selama-lamanya. Kabar inipun sampai ke telinga baginda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, lantas beliu bersabda kepada mereka, “Apakah kalian yang mengatakan begini dan begitu? Adapun saya, Demi Allah, adalah orang yang paling takut dan paling takwa kepada Allah di bandingkan kalian, tapi saya berpuasa dan juga berbuka, saya shalat (malam) dan juga tidur, serta menikahi beberapa wanita. Siapa yang membenci sunnahku bukan bagian dari umatku.” (Muttafaq ‘alaih)
Bahkan dalam hadits lain disebutkan bahwa seks atau hubungan badan di
jalan yang benar akan mendatangkan pahala besar. Diriwayatkan dari Abu
Dzar, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
وَفِي بُضْعِ أَحَدِكُمْ صَدَقَةٌ قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ أَيَأتِي
أَحَدُنَا شَهْوَتَهُ وَيَكُونُ لَهُ فِيهَا أَجْرٌ قَالَ أَرَأَيْتُمْ
لَوْ وَضَعَهَا فِي حَرَامٍ أَكَانَ عَلَيْهِ فِيهَا وِزْرٌ فَكَذَلِكَ
إِذَا وَضَعَهَا فِي الْحَلَالِ كَانَ لَهُ أَجْرًا
“Dan pada kemaluan (persetubuhan) kalian terdapat sedekah. Mereka
(para sahabat) bertanya, ‘Ya Rasulullah, apakah salah seorang dari kami
yang menyalurkan syahwatnya lalu dia mendapatkan pahala?’ Beliau
bersabda, ‘Bagaimana pendapat kalian seandainya hal tersebut disalurkan
pada tempat yang haram, bukankah baginya dosa? Demikianlah halnya jika
hal tersebut diletakkan pada tempat yang halal, maka dia mendapatkan
pahala.” (HR. Muslim)
Ibnul Qayyim, sebagaimana yang dinukil oleh Al-Istambuli dalam
Tuhfatul ‘Arus, mengatakan, “Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mengajak
kepada umatnya agar melaksanakan pernikahan, senang dengannya dan
mengharapkan (padanya) suatu pahala serta sedekah bagi yang telah
melaksanakannya. Di dalam perkawinan terdapat kesempurnaan hidup,
kenikmatan dan kebaikan kepada sesama. Di samping itu, juga mendapatkan
pahala sedekah, mampu menenangkan jiwa, menghilangkan pikiran kotor,
menyehatkan menolak keinginan-keinginan yang buruk.”
Kesempurnaan nikmat dalam perkawinan dan jima’ akan diraih oleh orang
yang mencintai dan dengan keridlaan Rabbnya dan hanya mencari
kenikmatan di sisinya serta mengharapkan tambahan pahala untuk
memperberat timbangan kebaikannya. Oleh karena itu yang sangat disenangi
syetan adalah memisahkan suami dari kekasihnya dan menjerumuskan
keduanya ke dalam tindakan yang diharamkan Allah.
Disebutkan dalam Shahih Muslim, bahwa Iblis membangun istana di atas
air (tipu muslihat), kemudian menyebarkan istananya itu kepada manusia.
Lalu iblis mendekatkan rumah mereka dan membesar-besarkan keinginan
(hayalan) mereka. Iblis berkata, ‘Tidak ada perubahan kenikmatan sampai
terjadi perzinaan’. Yang lainnya berkata, ‘Aku tidak akan berpaling
sampai mereka berpisah dari keluarganya.’ Maka iblis menenangkannya dan
menjadikan dirinya berseru, ‘Benarlah apa yang telah engkau lakukan’.
Kenapa Iblis begitu bersemangat untuk menjerumuskan orang ke dalam
perzinaan dan perceraian? Karena pernikahan dan berjima dalam balutan
perkawinan adalah sangat dicintai Allah dan Rasul-Nya. Makanya hal ini
sangat dibenci oleh musuh manusia. Ia selalu berusaha memisahkan
pasangan yang berada berada dalam naungan ridla ilahi dan berusaha
menghiasi mereka dengan segala sifat kemungkaran dan perbuatan keji
serta menciptakan kejahatan di tengah-tengah mereka.
Untuk itu hendaknya bagi suami-istri agar mewaspai keinginan syetan
dan usahanya dalam memisahkan mereka berdua. Ibnul Qayim berkata dalam
menta’liq hadits anjuran menikah bagi pemuda yang sudah ba’ah, “Setiap
kenikmatan membantu terhadap kenikmatan akhirat, yaitu kenikmatan yang
disenangi dan diridlai oleh Allah.”
Seorang suami dalam aktifitasnya bersama istrinya akan mendapatkan
kenikmatan melalui dua arah. Pertama, dari sisi kebahagiaan suami yang
merasa senang dengan hadirnya seorang istri sehingga perasaan dan juga
penglihatannya merasakan kenikmatan tersebut. Kedua, dari segi sampainya
kepada ridla Allah dan memberikan kenikmatan yang sempurna di akhirat.
Oleh karena itu, sudah selayaknya bagi orang berakal untuk menggapai
keduanya. Bukan sebaliknya, menggapai kenikmatan semu yang beresiko
mendatangkan penyakit dan kesengsaraan serta menghilangkan kenikmatan
besar baginya di akhirat. (Lihat: Ibnul Qayyim dalam Raudhatul Muhibbin,
hal. 60)
Jima’ di hari Jum’at
Uraian keutamaan hubungan suami istri di atas sebenarnya sudah cukup
menunjukkan pahala besar dalam aktifitas ranjang. Lalu adakah dalil
khusus yang menunjukkan keutamaan melakukan jima’ di hari Jum’at dengan
pahala yang lebih berlipat?
Memang banyak pembicaran dan perbincangan yang mengarah ke sana bahwa
seolah-olah malam Jum’at dan hari Jum’at adalah waktu yang cocok untuk
melakukan hubungan suami-istri. Keduanya akan mendapatkan pahala
berlipat dan memperoleh keutamaan khusus yang tidak didapatkan pada hari
selainnya. Kesimpulan tersebut tidak bisa disalahkan karena ada
beberapa dalil pendukung yang menunjukkan keutamaan mandi janabat pada
hari Jum’at. Sedangkan mandi janabat ada dan dilakukan setelah ada
aktifitas percintaan suami-istri.
Dari Abu Hurairah radliyallhu ‘anhu, dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
مَنْ اغْتَسَلَ يَوْمَ الْجُمُعَةِ غُسْلَ الْجَنَابَةِ ثُمَّ رَاحَ
فَكَأَنَّمَا قَرَّبَ بَدَنَةً وَمَنْ رَاحَ فِي السَّاعَةِ الثَّانِيَةِ
فَكَأَنَّمَا قَرَّبَ بَقَرَةً وَمَنْ رَاحَ فِي السَّاعَةِ الثَّالِثَةِ
فَكَأَنَّمَا قَرَّبَ كَبْشًا أَقْرَنَ وَمَنْ رَاحَ فِي السَّاعَةِ
الرَّابِعَةِ فَكَأَنَّمَا قَرَّبَ دَجَاجَةً وَمَنْ رَاحَ فِي السَّاعَةِ
الْخَامِسَةِ فَكَأَنَّمَا قَرَّبَ بَيْضَةً فَإِذَا خَرَجَ الْإِمَامُ
حَضَرَتْ الْمَلَائِكَةُ يَسْتَمِعُونَ الذِّكْرَ
“Barangsiapa mandi di hari Jum’at seperti mandi janabah, kemudian
datang di waktu yang pertama, ia seperti berkurban seekor unta.
Barangsiapa yang datang di waktu yang kedua, maka ia seperti berkurban
seekor sapi. Barangsiapa yang datang di waktu yang ketiga, ia seperti
berkurban seekor kambing gibas. Barangsiapa yang datang di waktu yang
keempat, ia seperti berkurban seekor ayam. Dan barangsiapa yang datang
di waktu yang kelima, maka ia seperti berkurban sebutir telur. Apabila
imam telah keluar (dan memulai khutbah), malaikat hadir dan ikut
mendengarkan dzikir (khutbah).” (HR. Bukhari no. 881 Muslim no. 850).
Para ulama memiliki ragam pendapat dalam memaknai “ghuslal janabah”
(mandi janabat). Sebagaian mereka berpendapat bahwa mandi tersebut
adalah mendi janabat sehingga disunnahkan bagi seorang suami untuk
menggauli istrinya pada hari Jum’at. karena hal itu lebih bisa
membantunya untuk menundukkan pandangannya ketika berangkat ke masjid
dan lebih membuat jiwanya tenang serta bisa melaksanakan mandi besar
pada hari tersebut. Pemahaman ini pernah disebutkan oleh Ibnu Qudamah
dari Imam Ahmad bin Hambal rahimahullah dan juga disebutkan oleh
sekelompok ulama Tabi’in. Imam al-Qurthubi berkata, “sesungguhnya dia
adalah pendapat yang peling tepat.” (Lihat: Aunul Ma’bud: 1/396 dari
Maktabah Syamilah)
Pendapat di atas juga mendapat penguat dari riwayat Aus bin Aus
radliyallah ‘anhu yang berkata, “Aku mendengar Rasulullah shallallahu
‘alaihi wasallam bersabda:
مَنْ غَسَّلَ يَوْمَ الْجُمُعَةِ وَاغْتَسَلَ ثُمَّ بَكَّرَ وَابْتَكَرَ
وَمَشَى وَلَمْ يَرْكَبْ وَدَنَا مِنْ الْإِمَامِ فَاسْتَمَعَ وَلَمْ
يَلْغُ كَانَ لَهُ بِكُلِّ خُطْوَةٍ عَمَلُ سَنَةٍ أَجْرُ صِيَامِهَا
وَقِيَامِهَا
“Barangsiapa mandi pada hari Jum’at, berangkat lebih awal (ke
masjid), berjalan kaki dan tidak berkendaraan, mendekat kepada imam dan
mendengarkan khutbahnya, dan tidak berbuat lagha (sia-sia), maka dari
setiap langkah yang ditempuhnya dia akan mendapatkan pahala puasa dan
qiyamulail setahun.” (HR. Abu Dawud no. 1077, Al-Nasai no. 1364, Ibnu
Majah no. 1077, dan Ahmad no. 15585 dan sanad hadits ini dinyatakan
shahih)
Menurut penjelasan dari Syaikh Mahmud Mahdi Al-Istambuli dalam
Tuhfatul ‘Arus, bahwa yang dimaksud dengan mandi jinabat pada hadits di
atas adalah melaksanakan mandi bersama istri. Ini mengandung makna bahwa
sebelumnya mereka melaksanakan hubungan badan sehingga mengharuskan
keduanya melaksanakan mandi. Hikmahnya, hal itu disinyalir dapat menjaga
pandangan pada saat keluar rumah untuk menunaikan shalat Jum’at. Adapun
yang dimaksud dengan bergegas pergi menuju ke tempat pelaksanaan shalat
Jum’at pada awal waktu, adalah untuk memperoleh kehutbah pertama.
(Lihat: Tuhfatul Arus dalam Edisi Indonesia Kado Perkawinan, hal.
175-176) Wallahu a’lam.
Source: Voa-Islam.com
0 comments:
Jangan sungkan-sungkan komen di mari gan...
:)