KEJUJURAN
Di era materialisme dewasa ini, kejujuran telah menjadi hal yang
sangat langka dalam kehidupan kita. Karena ketidakjujuran benar-benar
telah menjadi realitas sosial, dimana ketidakjujuran begitu sangat
transparan dan telah menjadi semacam rahasia umum yang merasuk dalam
kehidupan manusia.
Nabi Muhammad SAW pernah mengatakan, bahwa suatu saat nanti, diakhir
zaman, manusia dalam mencari harta tidak mempedulikan lagi mana yang
halal dan mana yang haram. (HR. Muslim).
Perkataan Nabi Muhammad SAW, telah menjadi kenyataan, dimana sekarang
ini banyak manusia tidak lagi menerapkan kejujuran dalam kehidupannya,
hingga tidak sedikit dari mereka yang tidak mempedulikan jalan yang
halal dan haram dalam mencari uang, jabatan atau dalam transaksi
jual-beli.
Padahal dalam urusan jual beli, Rasulullah SAW menyatakan bahwa
keberkahan hanya akan diraih jika kedua belah pihak mengedepankan sifat
jujur. Namun keberkahan itu akan dicabut manakala keduanya atau salah
seorang dari mereka tidak peduli lagi dengan kejujuran. “Kedua pihak
(penjual dan pembeli) berhak untuk menentukan pilihan selama mereka
belum berpisah. Jika keduanya jujur dan menjelaskan apa adanya maka jual
beli mereka akan mendapatkan keberkahan. Namun manakala keduanya
berbohong dan menyembunyikan kebenaran, maka keberkahan itu akan dicabut
kembali”. (Al-Hadits)
Berikut beberapa firman Allah SWT tentang perintah agar kita jujur :
Allah SWT telah memerintahkan orang-orang yang beriman agar mereka
bertaqwa dan senantiasa bersikap shidiq dan benar, sehingga kesempurnaan
ketakwaan seseorang harus senantiasa diiringi dengan kejujuran dan
kebenaran. Perhatikan firman-Nya berikut ini: “Hai orang-orang yang
beriman bertaqwalah kepada Allah, dan hendaklah kamu bersama orang-orang
yang benar.” (At-Taubah: 119).
“Ini adalah suatu hari yang bermanfaat bagi orang-orang yang benar,
kebenaran mereka. Bagi mereka surga yang di bawahnya mengalir
sungai-sungai; mereka kekal di dalamnya selama-lamanya; Allah ridha
terhadap-Nya Itulah keberuntungan yang paling besar.” (Al-Ma’idah: 119).
“Dan sebaliknya akibat dan hukuman yang akan dikenakan terhadap
orang-orang yang dusta dalam hidupnya. Dan pada hari kiamat kamu akan
melihat orang-orang yang berbuat dusta terhadap Allah, mukanya menjadi
hitam. Bukankah dalam neraka Jahannam itu ada tempat bagi orang-orang
yang menyombongkan diri?” (Az-Zumar: 60)
“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu’amalah tidak secara
tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. Dan
hendaklah seorang penulis di antara kamu menuliskannya dengan benar. Dan
janganlah penulis enggan menuliskannya sebagaimana Allah
mengajarkannya, maka hendaklah ia menulis, dan hendaklah orang yang
berhutang itu mengimlakkan (apa yang akan ditulis itu), dan hendaklah ia
bertakwa kepada Allah Tuhannya, dan janganlah ia mengurangi sedikitpun
daripada hutangnya. Jika yang berhutang itu orang yang lemah akalnya
atau lemah (keadaannya) atau dia sendiri tidak mampu mengimlakkan, maka
hendaklah walinya mengimlakkan dengan jujur. Dan
persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang-orang lelaki (di
antaramu). Jika tak ada dua oang lelaki, maka (boleh) seorang lelaki dan
dua orang perempuan dari saksi-saksi yang kamu ridhai, supaya jika
seorang lupa maka yang seorang mengingatkannya. Janganlah saksi-saksi
itu enggan (memberi keterangan) apabila mereka dipanggil; dan janganlah
kamu jemu menulis hutang itu, baik kecil maupun besar sampai batas waktu
membayarnya. Yang demikian itu, lebih adil di sisi Allah dan lebih
menguatkan persaksian dan lebih dekat kepada tidak (menimbulkan)
keraguanmu. (Tulislah mu’amalahmu itu), kecuali jika mu’amalah itu
perdagangan tunai yang kamu jalankan di antara kamu, maka tidak ada dosa
bagi kamu, (jika) kamu tidak menulisnya. Dan persaksikanlah apabila
kamu berjual beli; dan janganlah penulis dan saksi saling sulit
menyulitkan. Jika kamu lakukan (yang demikian), maka sesungguhnya hal
itu adalah suatu kefasikan pada dirimu. Dan bertakwalah kepada Allah;
Allah mengajarmu; dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu”. (QS. Al
baqarah [2] : 282}
Ash-shidq (kejujuran) merupakan satu kewajiban agama yang berlaku
dalam semua bidang kehidupan dan dalam semua keadaan. Baik dalam konteks
kehidupan pribadi maupun kehidupan berjamaah. Kejujuran, adalah suatu
sifat yang sangat mulia. Dan kedudukan orang-orang shiddiqin adalah di
bawah kedudukan para Nabi. Perhatikan firman Allah SWT berikut ini :
“Dan barangsiapa yang mentaati Allah dan Rasul(-Nya), mereka itu akan
bersama-sama dengan orang-orang yang dianugerahi nikmat oleh Allah,
yaitu: Nabi-nabi, para shiddiqin, orang-orang yang mati syahid, dan
orang-orang saleh. Dan mereka itulah teman yang sebaik-baiknya”. (QS.
An-Nissa [4] : 69)
Untuk bisa meraih sifat jujur dalam kehidupan, pertama-tama harus
diawali dengan jujur terhadap diri sendiri. Terutama jujur dengan
kewajiban-kewajiban kita terhadap Allah SWT. Untuk bisa komitmen dengan
sifat ini sangat dibutuhkan motivasi yang tinggi, tekad yang kuat,
semangat yang membara, serta keyakinan yang teguh. Dan sangat
dibutuhkan sikap muraqabah, yakni menerapkan kesadaran bahwa
Allah selalu melihat dan mengawasi kita dalam segala keadaan. Bahwa
Allah selalu mengetahui apa yang kita rasakan, ucapkan dan kita perbuat
Menerapkan dan membawa sifat jujur dalam kehidupan sehari-hari,
memang cukup sulit untuk dilakukan, seperti diibaratkan oleh Ibnul
Qayyim bahwa membawa sifat jujur dalam kehidupan, seperti mengangkat
gunung yang tinggi. Tidak akan ada yang mampu mengangkatnya melainkan
orang-orang yang kuat kemauan dan niatnya. Karena kejujuran yang
sesungguhnya adalah kejujuran yang ditampilkan saat tidak ada yang bisa
menyelamatkan nyawa kita kecuali dengan berbohong
Memang bukan hal yang mudah untuk bisa jujur dalam segala urusan dan
dalam semua keadaan. Untuk itu, Nabi Ibrahim a.s, seorang Nabi yang
shaleh masih tetap dengan penuh tawadhu’ memohon kepada Allah agar
senantiasa tutur katanya dijaga oleh Allah sehingga menjadi contoh yang
baik bagi generasi kemudian. Ibrahim berdoa: “Ya Tuhanku, berikanlah
kepadaku hikmah dan masukkanlah aku ke dalam golongan orang-orang yang
saleh, dan jadikanlah aku buah tutur yang baik bagi orang-orang (yang
datang) kemudian”. (Asy-Syu’ara’: 83-84)
Ibnul Qayyim menjelaskan dengan rinci keutamaan sifat shidiq di dalam
kitabnya Madarijus Salikin, bahwa dengan sifat ini akan dapat dibedakan
antara orang-orang munafik dengan orang-orang yang benar beriman. Sifat
inilah yang menjadi ruh amal perbuatan. Oleh karena itu kedudukannya di
bawah kedudukan kenabian yang merupakan kedudukan manusia tertinggi di
atas muka bumi ini.
“Dan barangsiapa yang mentaati Allah dan Rasul(-Nya), mereka itu akan
bersama-sama dengan orang-orang yang dianugerahi nikmat oleh Allah,
yaitu: Nabi-nabi, para shiddiqin, orang-orang yang mati syahid, dan
orang-orang saleh. Dan mereka itulah teman yang sebaik-baiknya”. (QS.
An-Nissa [4] : 69)
Selanjutnya Ibnul Qayyim menjelaskan dengan lebih rinci bahwa sifat
ini sebagaimana dianjurkan dalam perkataan, juga dalam perbuatan.
Keadaan. Shidiq dalam perkataan artinya lurusnya lisan dengan ucapan
seperti lurusnya ranting di atas dahan. Shidiq dalam perbuatan adalah
tegaknya perbuatan sesuai dengan tuntunan perintah seperti tegaknya
kepala di atas tubuh seseorang. Dan shidiq dalam keadaan adalah tegaknya
amalan-amalan hati dan anggota badan atas dasar ikhlas, kesungguhan dan
pengerahan kemampuan yang maksimal
Oleh karena itu, marilah kita menelisik diri, sudah jujurkah kita selama ini? Apabila belum, mari kita perbaiki.
0 comments:
Jangan sungkan-sungkan komen di mari gan...
:)