MEMAAFKAN
Salah satu sifat mulia yang dianjurkan dalam Al Qur’an adalah
memaafkan, seperti tertulis dalam firman-Nya : “Jadilah pemaaf dan
suruhlah orang mengerjakan yang makruf, serta berpalinglah dari pada
orang-orang yang bodoh”. (QS. Al A’raf [7] : 199)
Allah berfirman dalam Hadits Qudsi yang artinya : ” Nabi Musa a.s
bertanya kepada Allah : ” Ya Rabbi ! siapakah diantara hamba-Mu yang
lebih mulia menurut pandangan-Mu ?” Allah berfirman :” Ialah orang yang
apabila berkuasa (menguasai musuhnya), dapat segera memaafkan.”
(Kharaithi dari Abu Hurairah r.a)
Perhatikan juga firman Allah SWT berikut ini, “Jika kamu menyatakan
sesuatu kebaikan atau menyembunyikan atau memaafkan sesuatu kesalahan
(orang lain), maka sesungguhnya Allah Maha Pema’af lagi Maha Kuasa.” (QS
an-Nisaa’ [4]: 149)
Dalam ayat lain Allah SWT berfirman: “… dan hendaklah mereka
mema’afkan dan berlapang dada. Apakah kamu tidak ingin bahwa Allah
mengampunimu? Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang, .”
(QS. An Nuur, 24:22)
Dan perhatikan juga firman Allah SWT berikut ini : … dan jika kamu
maafkan dan kamu santuni serta ampuni (mereka), maka sungguh, Allah Maha
Pengampun, Maha Penyayang. (QS. At Taghaabun, 64:14)
Suatu ketika seorang pria bertanya kepada Rasulullah SAW tentang
akhlak yang baik, maka Rasulullah SAW membacakan firman Allah, “Jadilah
engkau pemaaf dan perintahkan orang mengerjakan yang ma’ruf, serta
berpalinglah dari orang-orang yang bodoh.” (QS al-A’raaf [7] : 199).
Kemudian beliau bersabda lagi, “Itu berarti engkau harus menjalin
hubungan dengan orang yang memusuhimu, memberi kepada orang yang kikir
kepadamu dan memaafkan orang yang menganiayamu.” (Hr. Ibnu Abud-Dunya)
Kaum beriman adalah orang-orang yang bersifat memaafkan, pengasih dan
berlapang dada, sebagaimana dinyatakan dalam Al Qur’an : “(yaitu)
orang-orang yang menafkahkan (hartanya), baik di waktu lapang maupun
sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya dan mema’afkan
(kesalahan) orang. Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan.”
(QS. Ali ‘Imraan [3]:134)
Pemahaman kita tentang memaafkan berbeda-beda, ada dari kita yang
memaafkan seseorang tapi perlu waktu lama untuk membebaskan diri dari
rasa benci dan marah dalam hatinya. Pelu waktu lama baginya untuk bisa
kembali menjalain hubungan baik dengan orang yang telah menyakitinya.
Tapi ada juga yang bisa memaafkan dengan tulus. Mereka yang memaafkan
dengan tulus inilah, hamba Allah yang sungguh-sungguh beriman dengan
sebenar-benarnya, dan mengikuti perintah Allah untuk memaafkan. Ketika
memaafkan, mereka tidak memikirkan besar atau kecilnya kesalahan, mereka
juga tidak mengingat-ingat lagi perbuatan orang yang telah
menyakitinya. Mereka menyadari bahwa seseorang dapat saja sangat
menyakiti mereka dengan atau tanpa sengaja.
Orang yang bisa memaafkan dengan tulus ini tahu, bahwa segala sesuatu
terjadi menurut kehendak Allah dan berjalan sesuai takdir-Nya, karena
itulah mereka berserah diri kepada Allah, menyerahkan semua permasalahan
kepada Allah. Hingga mereka tidak pernah terbelenggu dan tersiksa oleh
amarah, sakit hati, dan semua itu akan membuatnya jadi memaafkan
kesalahan orang lain, dan mereka lakukan itu, semata-mata karena Allah.
Mereka memaafkan karena Allah.
Teman-teman pembaca Blog Jalan Dakwah Bersama, bila kita ingin
menjadi seorang yang ahli budi pekerti dunia akhirat dan selalu
mendapatkan rahmat-Nya, selalu dilindungi dalam pemeliharaan-Nya serta
menempati surga-Nya, maka jadilah orang yang pemaaf, maafkanlah dengan
tulus orang yang pernah menyakiti kita, seberapa besarpun sakit dan
terlukanya hati kita, maka hendaklah kita tetap bisa memaafkan dengan
tulus dan mengikhlaskannya. Kemudian tetaplah menjalin silaturahim
dengan orang yang memutuskannya, dan lakukanlah semua itu karena Allah.
Perhatikan sabda Rasulullah SAW berikut ini:
Rasulullah SAW bersabda kepada Uqbah bin Amir ra : ” Wahai Uqbah !
maukah engkau ku beritahukan budi pekerti ahli dunia dan akhirat yang
paling utama ? yaitu : melakukan shilaturahim (menghubungkan
kekeluargaan dengan orang yang telah memutuskannya), memberi pada orang
yang tidak memberimu, dan memaafkan orang yang pernah menganiayamu.”
(ihya ulumuddin)
Dalam hadist lain disebutkan : ” Ada tiga hal yang apabila dilakukan
akan dilindungi Allah dalam pemeliharaan-Nya dan ditaburi rahmat-Nya
serta dimasukkan-Nya kedalam surga-Nya yaitu : apabila diberi ia
berterima kasih, apabila berkuasa ia suka memaafkan, dan apabila marah
ia menahan diri (tak jadi marah) .” (HR. Hakim dan ibnu hibban dari Ibnu
abbas dalam Min Akhlaqin Nabi)
Seorang yang bertakwa, adalah seorang yang mampu menahan marah dengan
tidak melampiaskan kemarahan walaupun sebenarnya ia mampu melakukannya.
Ini mengisyaratkan bahwa perasaan marah, sakit hati, dan keinginan
untuk menuntut balas, sebenarnya masih ada, tapi perasaan itu tidak
dituruti, melainkan ditahan dan ditutup rapat agar tidak keluar
perkataan dan tindakan yang tidak baik. (kata-kata sebagian dikutip dari
Quraisy Shihab, Tafsir al-Misbah, II, hal. 207).
Orang yang mampu menahan marah dan memafkan oleh Nabi SAW disebut
sebagai orang yang kuat. Beliau bersabda: Orang yang kuat bukanlah orang
yang jago gulat, tetapi (orang yang kuat itu adalah) orang yang mampu
menahan dirinya ketika marah (HR. Bukhari, Muslim, dan Abu Daud).
Memaafkan berarti menghapuskan, kemudian tidak menghukumnya sekalipun
ia mampu melakukannya. Ini adalah perjuangan untuk pengendalian diri
yang lebih tinggi dari menahan marah. Kerana menahan marah hanya upaya
menahan sesuatu yang tersimpan dalam diri, sedangkan memaafkan, menuntut
orang untuk menghapus bekas luka hati akibat perbuatan orang. Ini tidak
mudah, oleh kerana itu wajarlah ia dianggap perilaku orang bertakwa.
Berikut beberapa perintah Allah SWT dalam Al Quran, tentang memaafkan :
” ……dan pemaafan kamu itu lebih dekat kepada takwa.. ” (QS. Al Baqarah [2] ; 237)
” …..dan hendaklah mereka mema’afkan dan berlapang dada. Apakah kamu
tidak ingin bahwa Allah mengampunimu? Dan Allah adalah Maha Pengampun
lagi Maha Penyayang ” (QS. An Nuur [24] ; 22)
” …….karena itu maafkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawaratlah dengan mereka dalam urusan itu
Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakkallah
kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal
kepada-Nya.” (QS Ali ‘Imran [3] ; 159)
” Jadilah engkau pemaaf dan suruhlah orang mengerjakan yang ma’ruf,
serta berpalinglah dari pada orang-orang yang bodoh. .” (QS. Al A’raaf
[7] ; 199)
“….. dan orang-orang yang menahan amarahnya dan memaafkan (kesalahan)
orang. Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan” (QS Ali
‘Imran [3] ; 134)
Dan balasan suatu kejahatan adalah kejahatan yang serupa, maka barang
siapa memaafkan dan berbuat baik maka pahalanya atas (tanggungan)
Allah. Sesungguhnya Dia tidak menyukai orang-orang yang zalim. (Q.S Asy
Syuura [42] :40)
Setelah semua uraian diatas, mari kita tanyakan dengan jujur pada
diri kita, sejauh mana kita bisa berlapang dada dan bisa tulus dalam
memaafkan kesalahan orang lain? Dan sejauh mana kita berani mengakui
kesalahan kita dan meminta maaf atas kesalahan yang telah kita lakukan?
Bila ternyata kita belum bisa memaafkan dengan tulus kesalahan orang
lain dan mengikhlaskannya, maka mulai saat, mari kita terapkan hal itu
dalam kehidupan kita. Dan apabila kita belum berani mengakui kesalahan
kita, entah itu karena gengsi atau sebab lainnya, maka ubahlah segera,
karena minta maaf atas suatu kesalahan yang kita perbuat, adalah sikap
mulia. Hindari sikap egoisme dalam diri, karena manusia yang besar
adalah manusia yang dapat mengendalikan hawa nafsunya, tidak mudah
marah, lapang dada dan hatinya, mau mengakui kesalahannya, serta selalu
mementingkan kemaslahatan ummat.
0 comments:
Jangan sungkan-sungkan komen di mari gan...
:)