5 Mitos Tentang Vaksin yang Menyesatkan
Meski sudah diperkenalkan sejak awal abad 20,
hingga saat ini cakupan vaksinasi di berbagai tempat belum mencapai
100 persen. Malah, jumlah anak yang mendapat vaksin menurun. Di
Indonesia sendiri cakupan imunisasi baru sekitar 60 persen.
Padahal, vaksinasi sudah terbukti menjadi cara yang murah dan
efektif untuk mencegah angka kesakitan dan kematian pada anak-anak
akibat penyakit infeksi.
Berikut adalah lima mitos menyesatkan seputar vaksin dan fakta di balik mitos itu.
1. Vaksin tidak penting
Sampai saat ini penyakit yang berhasil dieradikasi (hilang) barulah cacar bopeng (small pox). Penyakit lain, meski vaksinnya sudah ditemukan puluhan tahun lalu, masih ada. Misalnya saja polio, cacar air atau batuk rejan.
Sampai saat ini penyakit yang berhasil dieradikasi (hilang) barulah cacar bopeng (small pox). Penyakit lain, meski vaksinnya sudah ditemukan puluhan tahun lalu, masih ada. Misalnya saja polio, cacar air atau batuk rejan.
2. Anak-anak mendapat terlalu banyak vaksin dan terlalu dini
Vaksin adalah cara paling efektif untuk mencegah infeksi penyakit yang dihadapi anak-anak dari lingkungan setiap hari.
Vaksin adalah cara paling efektif untuk mencegah infeksi penyakit yang dihadapi anak-anak dari lingkungan setiap hari.
“Tubuh anak terus menerus menghadapi banyak hal yang membuat sistem
imun mereka bekerja keras, mulai dari bakteri di tubuh kita sendiri
juga bakteri yang berasal dari makanan, minuman dan udara,” kata Paul
Offit, direktur Vaccine Education Center dari RS Anak Philadelphia.
Pakar imunologi dari University of California, AS, meneliti jumlah
vaksin yang bisa direspon oleh tubuh seseorang pada satu waktu.
Setelah mempertimbangkan berbagai jenis komponen dalam vaksin,
termasuk protein bakteri, mereka menemukan bahwa bayi dan anak-anak
bisa merespon dengan aman 100.000 vaksin dalam sekali waktu. Padahal
rata-rata seorang anak mendapatkan 14 jenis vaksin dalam waktu dua
tahun.
3. Vaksin MMR sebabkan autisme
Mitos ini mulai berkembang tahun 1998 ketika Dr.Andrew Wakefield dan timnya mempublikasikan hasil penelitiannya di jurnal The Lancet. Mereka mengamati kesehatan 12 anak, yang 8 diantaranya mengalami gangguan perkembangan yang menurut orangtua anak-anak itu disebabkan oleh vaksin MMR. Hasil studi itu menimbulkan kepanikan di seluruh dunia dan menyebabkan jumlah anak yang mendapatkan imunisasi turun drastis.
Mitos ini mulai berkembang tahun 1998 ketika Dr.Andrew Wakefield dan timnya mempublikasikan hasil penelitiannya di jurnal The Lancet. Mereka mengamati kesehatan 12 anak, yang 8 diantaranya mengalami gangguan perkembangan yang menurut orangtua anak-anak itu disebabkan oleh vaksin MMR. Hasil studi itu menimbulkan kepanikan di seluruh dunia dan menyebabkan jumlah anak yang mendapatkan imunisasi turun drastis.
Padahal awal tahun ini para editor dari The Lancet secara
resmi menyatakan menarik penelitian itu karena menyebarkan informasi
keliru. Setelah penelitian yang mendalam, para ahli termasuk dokter di
WHO menyatakan vaksin MMR tidak terkait dengan peningkatan kasus
autisme di dunia.
Berbagai penelitian telah dilakukan dan tidak ditemukan kaitan
antara vaksin MMR dengan autisme. Salah satu studi terbesar dan jangka
panjang dipublikasikan dalam New England Journal of Medicine
di tahun 2002. Studi itu mengamati kesehatan 537.000 anak dan menemukan
angka autisme antara anak yang mendapat vaksin dan tidak ternyata
sama saja.
4. Vaksin tidak 100 persen aman
Mitos ini mungkin ada benarnya. Namun, berjalan kaki pun tidak menjamin kita aman 100 persen bukan? Kita bisa saja terjatuh atau tersenggol motor. Nyatanya hal itu tidak membuat orang jadi takut untuk berjalan kaki di pinggir jalan.
Mitos ini mungkin ada benarnya. Namun, berjalan kaki pun tidak menjamin kita aman 100 persen bukan? Kita bisa saja terjatuh atau tersenggol motor. Nyatanya hal itu tidak membuat orang jadi takut untuk berjalan kaki di pinggir jalan.
Kebanyakan vaksin yang diberikan lewat injeksi memang bisa
menyebabkan nyeri, merah dan bengkak pada kulit di bagian yang
disuntik. Efek samping lainnya adalah demam dan reaksi alergi. Kendati
begitu, sifat efek samping itu individual. Lagipula risikonya lebih
besar jika anak tidak diimunisasi. Teknologi vaksin pun semakin
canggih sehingga reaksi terhadap vaksin jauh lebih jarang dan ringan.
5. Vaksin tidak efektif cegah penyakit
Kebanyakan vaksin yang sekarang ini beredar sudah ada dalam kurun waktu 50 tahun, sehingga kebanyakan orangtua tidak mengenal jenis-jenis penyakit yang bisa dicegah oleh imunisasi.
Kebanyakan vaksin yang sekarang ini beredar sudah ada dalam kurun waktu 50 tahun, sehingga kebanyakan orangtua tidak mengenal jenis-jenis penyakit yang bisa dicegah oleh imunisasi.
Misalnya saja, sebelum vaksin tersedia tahun 1963, hampir seluruh
anak di AS terkena cacar air sebelum usia 15 tahun. Di negara itu,
penyakit ini tiap tahun membunuh 450 orang, kebanyakan anak-anak.
Namun setelah vaksin diperkenalkan, kasus cacar air menurun menjadi
hanya 37 di tahun 2004.
Sayangnya, sejak tahun 2006, jumlah anak yang terkena cacar air
meningkat menjadi 130. Menurut data CDC, kebanyakan anak tersebut
tidak divaksin atas permintaan orangtua pasien sendiri.
Tren yang sama juga terjadi di Inggris dimana jumlah penderita
cacar air naik dari 56 kasus di tahun 1998 menjadi 1324 kasus di tahun
2008. Penyebabnya juga karena orangtua tak mau memvaksin anaknya.
( health.kompas.com )
0 comments:
Jangan sungkan-sungkan komen di mari gan...
:)