Menabung Pahala
Menabung terlanjur dianggap sebagai aktivitas yang positif, bahkan ‘fullpositif’.
Mungkin amat langka orang menyebut aktivitas menabung sebagai tindakan
negatif. Bahkan banyak orangtua Muslim (mungkin juga sebagiannya para
aktifis dakwah) yang mulai mengajari anak-anaknya menabung sejak kecil.
Mengapa? Tentu karena menabung dianggap sebagai bagian dari sikap baik.
Sikap ini nyaris tanpa cela di mata kebanyakan orang hanya karena
menabung identik dengan gaya hidup hemat, sementara hemat biasanya
dilawankan dengan kata boros. Karena itu, anak-anak diajari sedari dini aktivitas menabung di rumah,
di sekolah, di koperasi atau mungkin di bank. Tak jarang, orangtua
begitu bangga jika putranya bisa mengumpulkan banyak uang dalam
celengannya di rumah. Guru begitu riang jika dalam catatan buku tabungan
anak-anak didiknya tertera angka-angka nominal yang besar. Mereka amat
bangga jika di rekening putra-putrinya di bank tercatat angka-angka
nominal yang banyak.
Anak-anak tentu akan lebih riang-gembira
dan bangga saat menunjukkan hasil tabungannya yang banyak kepada
orangtua atau gurunya. Bahkan mungkin tabungan itu akan ia pamerkan
kepada teman-temannya. Tentu—namanya anak-anak—sering tidak terlalu
memperhatikan bahwa di sekelilingnya mungkin banyak teman-temannya yang
tidak seberuntung dirinya; jangankan untuk menabung, bahkan sekadar
jajan alakadarnya pun mungkin sering gak punya.
Karena terlanjur dianggap ‘full positif’, tak jarang orangtua seperti gak rela
saat suatu waktu, misalnya, anaknya ternyata menghabiskan uang jajannya
untuk mentraktir teman-temannya sekadar untuk menyenangkan hati mereka
atau sebagai bentuk solidaritas sesama teman. Tindakan itu kadang
dianggap royal dan boros. Betulkah?
*****
Suatu ketika, Baginda Nabi Muhammad saw. menghampiri lemari Bilal bin
Rabbah ra. yang di dalamnya disimpan harta sedekah. Saat dilihat, di
lemari tersebut terdapat seonggok kurma. Beliau bertanya, “Kurma apa ini, Bilal?”
“Ya Rasulullah, itu adalah kurma yang saya simpan sebagai persediaan untuk engkau,” jawab Bilal.
“Apakah engkau merasa aman sampai pagi, sementara di lemari itu
terdapat asap neraka Jahanam? Cepat, infakkan segera kurma itu!
Janganlah engkau khawatir, Zat Pemilik ‘Arsy akan memenuhi kekurangan
dan kebutuhan,” tegas Baginda Nabi saw. (HR Ibn Syihab).
Wajar saja jika kemudian, saat Bilal ditanya oleh Abdullah bin Luhay
al-Huzni, berapa belanja Rasulullah saw., Bilal menjawab, “Beliau tidak
memiliki apa pun. Akulah yang mengurusi beliau sejak diutus hingga
beliau wafat. Jika beliau melihat seorang Muslim yang tidak memiliki
pakaian yang layak, maka beliau menyuruh aku mencari pinjaman, lalu
membelikan untuk dia pakaian, kemudian memakaikan pakaian itu kepada
dia, sekaligus memberi dia makan.” (HR Ibn Hibban).
Dalam riwayat lain, Uqbah ra. bertutur: Aku pernah shalat ashar di
belakangBaginda Nabi saw. di Madinah. Setelah mengucapkan salam,
tiba-tiba beliau segera berdiri, kemudian berjalan cepat melewati pundak
orang-orang untuk memasuki salah satu bilik istri beliau. Orang-orang
pun menyingkir karena begitu terburu-burunya beliau. Lalu beliau segera
keluar dan kembali ke hadapan mereka yang sedang terheran-heran. Beliau
lalu bersabda, “Aku tadi teringat akan emas, sementara aku tidak
suka menyimpannya. Karena itu, aku memerintahkan agar emas itu segera
dibagi-bagikan.” (HR al-Bukhari).
Ummu Salamah ra. juga pernah bertutur, “Baginda Nabi saw. pernah
memasuki tempat tinggalku dengan rona wajah yang muram. Karena khawatir
beliau sakit, aku bertanya, ‘Ya Rasulullah, mengapa wajahmu tampak
muram?’ Beliau menjawab, ‘Gara-gara tujuh dinar yang kemarin kita terima, sementara hingga sore hari, uang itu belum juga diinfakkan.’” (HR Ahmad dan Abu Ya’la).
Saat menyertai Baginda Nabi saw. hijrah ke Madinah, Abu Bakar ra.
membawa seluruh hartanya sebanyak lima atau enam ribu dirham (setara Rp
350 juta atau Rp 420 juta) untuk diinfakkan di jalan Allah SWT (HR Ibn
Ishaq). Utsman ra. pernah menginfakkan hartanya sebanyak 1000 dinar
(setara Rp 2,25 miliar) saat Baginda Nabi saw. sedang mempersiapkan
pasukan (HR al-Hakim; Al-Bidayah, II/179). Abdurrahman bin Auf
ra. pernah menginfakkan separuh hartanya; itu belum termasuk tambahan
sebanyak 40 ribu dinar (setara Rp 90 milar), 500 ekor unta dan 500 ekor
kuda (HR Ibn al-Mubarak; Al-Ishabah, II/416). Hakim bin Hizam
ra. pernah menjual tanahnya seharga 200 ribu dirham (setara Rp 14
miliar), yang semuanya diinfakkan di jalan Allah SWT (HR ath-Thabrani).
Demikianlah, mereka baru sejumlah kecil dari para Sahabat Nabi saw.
yang mulia dalam menginfakkan harta-harta mereka. Sangat jarang
diriwayatkan, bahwa mereka rajin menabung dan menumpuk-numpuk harta.
Tentu, karena mereka adalah pengikut sejati Baginda Rasulullah saw. yang
telah memberikan teladan bagaimana seharusnya memperlakukan harta.
*****
Jadi, bolehkah menabung? Tentu tidak dilarang selama ada keperluan.
Persoalannya, bagaimana jika tidak ada keperluan? Lebih utama mana,
antara menabung harta saat tak ada keperluan dengan menginfakkan harta itu di jalan Allah SWT? Lebih afdhal mana menabung di bank dibandingkan dengan ‘menabung’ untuk kepentingan akhirat?
Lebih dari itu, masihkah kita perlu mengajari anak-anak kita menabung
ketimbang mendidik mereka untuk gemar berinfak di jalan Allah SWT?
Masihkah kita—sadar atau tidak—menanamkan kecintaan terhadap harta pada
anak-anak kita dengan terus mendorong mereka untuk gemar menabung,
sementara kadang mereka tidak memerlukan harta tabungan itu? Jika
alasannya untuk berjaga-jaga, tidakkah berjaga-jaga untuk kepentingan
akhirat jauh lebih layak daripada berjaga-jaga untuk kepentingan dunia?
Jadi, salahkah menabung? Tidak juga. Namun, tentu ‘menabung’ untuk
kepentingan akhirat, itulah sejatinya yang lebih layak kita lakukan dan
kita ajarkan kepada anak-anak kita. Mulailah dengan memberi mereka
contoh secara langsung dengan cara membiasakan diri dengan memperbanyak
infak di jalan Allah SWT. Itulah sejatinya ‘tabungan’ kita yang hakiki
dan abadi, yang pasti akan kita jumpai kembali di akhirat nanti.
Wama tawfiqi illa bilLah wa ‘alayhi tawakaltu wa ilayhi unib.
0 comments:
Jangan sungkan-sungkan komen di mari gan...
:)