Kendalikan Rasa Marah
Saat
ini, sangat mudah orang mengumbar amarah. Sering karena hal sepele
orang bisa marah. Tak jarang, rasa marah itu berujung pada pertikaian.
Hanya karena senggolan motor, orang bisa marah. Hanya karena rebutan
jalur saat mengendara, orang bisa melontarkan sumpah serapah. Hanya
karena rebutan penumpang, antar kernet angkutan kota bisa saling
caci-maki. Hanya karena sepakbola, antara pendukung masing-masing klub
bisa saling tawuran. Saat jagonya dikalahkan dalam Pilkada, para
pendukungnya tak sedikit yang kemudian melakukan kasi anarkis dan
perusakan. Saat foto presidennya diinjak-injak, para pemujanya mengutuk
habis-habisan.
Di sisi lain, saat Baginda Rasulullah SAW
dihina, banyak Muslim diam seribu bahasa. Jangankan marah, tergetar
hatinya pun tidak. Saat Alquran diinjak-injak oleh orang-orang kafir,
tak sedikit Muslim yang adem-ayem saja. Jangankan marah, sedikit peduli
pun tidak. Saat rutusan bahkan ribuan umat Islam di negeri lain
dibantai, kebanyakan kita pun hanya mengelus dada. Saat tempat-tempat
suci seperti masjid diledakkan, saat hijab Muslimah dilecehkan,
kebanyakan kita pun tak tergerak untuk sakadar menunjukkan amarah.
Bahkan pada saat sebagian umat marah dengan melakukan demonstrasi
mengutuk berbagai penodaan dan penghinaan simbol-simbol kesucian Islam
dan kaum Muslim, ramai-ramai para penguasa atau pejabat negara berusaha
meredam amarah umat tersebut, bahkan tak segan menghalangi dengan
kekerasan para demonstran itu.
Islam sebagai agama yang sempurna tentu mempunyai aturan tentang
marah. Marah bukan hanya boleh, bahkan harus, saat kehormatan Allah SWT
dan Rasul-Nya dilanggar. Sebaliknya, marah justru dilarang jika didorong
oleh sentimen etnis, kelompok, golongan atau kebangsaan (’ashabiyah) karena semua itu hanya bersumber dari hawa nafsu dan setan.
Kita harus meneladani Baginda Rasulullah SAW, kapan dan bagaimana
beliau marah. Rasulullah SAW adalah manusia yang paling mampu
mengendalikan dirinya dan paling bagus akhlaknya. Beliau adalah orang
yang paling penyayang dan lembut. Sesungguhnya Nabi SAW adalah
orang yang lebih pemalu dari para gadis pingitan, jika melihat sesuatu
yang beliau benci, akan diketahui dari wajahnya (HR al-Bukhari). Beliau pun menyatakan: Orang yang kuat bukanlah dengan bergulat, namun orang yang kuat itu adalah orang yang mampu mengendalikan dirinya ketika marah (HR al-Bukhari).
Abu Darda ra pernah menuturkan bahwa pernah ada seorang berkata kepada Nabi SAW, “Nasihatilah saya.” Rasulullah bersabda “Jangan marah1”. Orang itu mengulangi permintaannya, Rasul SAW pun mengulang sabdanya, “Jangan marah!” (HR al-Bukhari).
Sikap marah mengantarkan seseorang untuk melakukan banyak keburukan,
cacian, umpatan dan kata-kata kotor; bahkan pemukulan, perusakan
fasilitas umum hingga melakukan tindak pembunuhan. Karena itu,
menghindari marah sebagaimana diajarkan Rasulullah SAW, hidup pemaaf dan
berkasih-sayang terhadap sesama, akan menghindarkan seseorang dari
banyak keburukan dan kejahatan.
Namun dalam kondisi tertentu, Baginda Rasulullah SAW pun bisa marah,
tentu semata-mata karena Allah SWT. Ada riwayat yang menyatakan: Sesungguhnya
Nabi SAW tidak pernah marah terhadap sesuatu. Namun, jika
larangan-larangan Allah dilanggar, ketika itu tidak ada sesuatu pun yang
dapat menghalangi rasa marahnya (HR al-Bukhari dan Muslim).
Dalam hadits lain dinyatakan: Tidaklah Rasulullah SAW dihadapkan
pada dua pilihan melainkan beliau memilih yang paling mudah di antara
keduanya selama tidak merupakan suatu dosa. Namun, bila sesuatu itu
dosa, beliau adalah orang yang paling menjauh darinya. Tidaklah beliau
membalas karena dirinya kecuali kehormatan Allah SWT dilanggar maka
beliau pun marah (HR al-Bukhari).
Jabir ra menuturkan, “Rasulullah SAW, bila marah, dua matanya
berwarna merah, suaranya meninggi dan kemarahannya mengeras hingga
seperti seorang komandan memperingatkan pasukannya.” (HR al-Bukhari dan Muslim).
Karena itu, dalam banyak hal kita pun harus marah, misal: saat
kehormatan Islam dilecehkan, saat orang-orang kafir mengolok-olok Islam,
saat orang-orang liberal mengacak-acak Alquran, saat para penguasa
membuat UU yang bertentangan dengan Islam dan melakukan berbagai
kezaliman, saat saudara-saudara sesama Muslim dihinakan bahkan dibantai
tanpa belas kasihan, dsb. Dalam hal seperti ini kita bukan hanya boleh
marah, bahkan harus marah. Jika mampu kita wajib mengubahnya dengan
tangan (kekuasaan), atau dengan lisan (dakwah) atau dengan hati—meski
itu menandakan iman yang paling lemah (HR Muslim). Jika dengan hati pun
tidak bisa—adem-ayem dan acuh-tak acuh—maka bisa jadi tidak ada lagi
keimanan yang tersisa. Na’udzu bilLah min dzalik.
0 comments:
Jangan sungkan-sungkan komen di mari gan...
:)